Dalam
sebuah lembaga ataupun organisasi sering kali kita terikat akan aturan ataupun
sebuah norma yang termodifikasi dalam sebuah dokumen tertulis. Dokumen ini
seperti benda sakral dalam artian tuhan kedua dalam sebuah organisasi. Setiap
keputusan ataupun masalah yang didapatkan dalam berorganisasi pastinya akan
dikembalikan ke dokumen sakral ini. Benda
ini merupakan pedoman, landasan, prinsip dan tolak pikir organisasi. Tanpa
landasan ataupun pedoman, sebuah organisasi akan mudah terombang-ambing oleh
derasnya suatu masalah yang nantinya akan dihadapi.
Konstitusi,
inilah nama dari benda sakral tersebut yang bahasa latinnya constitution. Meminjam pengertian
konstitusi dari para pakar ilmu hukum yang menerjemahkan bahwa konstitusi
merupakan sebuah kesepakatan politik dalam pengambilan keputusan ataupun
kebijakan. Selain itu bisa juga dikatakan bahwa konstitusi merupakan
keseluruhan sistem kelembagaan (berbicara dalam konteks sebuah lembaga) kumpulan peraturan- peraturan
yang mengatur dan mengendalikan lembaga tersebut, istilah ini dipinjam dari
salah satu pakar politik K.Clemb Wheare.
Melihat
dari perspektif yang berbeda, konstitusi bukan semata- mata sebagai aturan yang
kadang kala disesali keberadaanya. Namun sebaliknya tujuan dari konstitusi itu
sendiri adalah untuk membatasi kekuasaan pimpinan agar tidak bertindak
sewenang-wenang, melindungi hak pengurus ataupun anggota dalam lembaga tersebut
dan selain itu tanpa ada aturan yang jelas dan tegas lembaga tidak akan berdiri
dengan kokoh.
Bagi
sebagian lembaga, konstitusi bukan hanya apa yang disepakati dan dituangkan
dalam bentuk tulisan, namun juga termasuk apa yang menjadi kebiasaan –kebiasaan
lembaga tersebut yang sering timbul dan dilakukan secara rutin namun tidak
tertuang dalam bentuk tulisan. Mengadopsi tuturan dari Miriam Budiarjo yang
dituangkan dalam bukunya “Dasar-Dasar
Ilmu Politik” menegaskan bahwa sebuah konstitusi mengandung nilai, yang
keberadaannya juga tidak kalah penting untuk menopang tegaknya sebuah
konstitusi . Nilai – nilai tersebut diantaranya adalah nilai normatif, nilai nominal
dan nilai semantik.
Nilai
normatif menjelaskan bahwa suatu konstitusi secara sah diterima oleh suatu
lembaga ataupun organisasi dan bagi mereka konstitusi itu bukan hanya berlaku
dalam arti hokum, melainkan juga berlaku bagi masyarakat dalam lembaga tersebut
yang dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Nilai nominal menjelaskan bahwa suatu konstitusi secara
hukum berlaku, tetapi tidak secara sempurna, hal itu disebabkan karena tidak
semua aturan-aturan atapun pasal dalam sebuah lembaga berlaku yang sama bagi
lembaga lain. Selanjutnya yang terakhir adalah
nilai semantik yang membahasakan bahwa suatu konstitusi yang berlaku hanya
untuk kepentingan penguasa dalam artian pimpinan semata.
Secara
faktual tujuan dan maksud sebuah konstitusi sudah tergambarkan secara gamblang
dibenak masing- masing masyarakat dalam sebuah lembaga. Namun salah satu
permasalahan yang sering menghujani sebuah lembaga adalah adanya interferensi
antara sebuah konstitusi dan hubungan keluarga. Hubungan keluarga disini dalam
artian hubungan yang sudah terjalin secara diantara masyarakat dalam sebuah
lembaga.
Salah
satu penyebab terbesar terabaikannya maklumat dalam sebuah konstitusi karena
adanya interferensi dari hubungan keluarga tersebut. Jika peristiwa ini terjadi
maka konstitusi hanyalah sekedar sebuah dokumen tertulis yang berisi aturan-
aturan namun tidak direalisasikan maklumat dari isi konstitusi tersebut. Konstitusi dibuat hanyalah sekedar formalitas
sebagai pelarian agar dikatakan sebagai lembaga yang mempunyai konstitusi.
Kadang
kala masyarakat dalam lembaga tersebut harus memilih antara tegas atau tidak
rela. Tegas untuk menjalankan maklumat sebuah konstitusi ataupun ketidakrelaan
untuk memberikan hukuman bagi masyarakat lembaga yang melanggar konstitusi, hal
ini dikarenakan sudah tertanamnya asas
kekeluargaan diantara masyarakat dalam sebuah lembaga tersebut.
Dalam
sebuah berlembaga, konstitusi selalu diperioritaskan dibandingkan hal yang lain
salah satunya asas kekeluargaan yang telah dipaparkan sebelumnya. Namun kadang kala asas kekeluargaan pun dapat
mengambil alih sebuah konstitusi. Jika disandingkan antara sebuah konstitusi dan asas kekeluargaan,
jelas merupakan pilihan yang begitu kompleks. Namun sebagai masyarakat yang
berlembaga, sepatutnya kita harus sadar, kapan asas kekeluargaan bisa
ditendensikan dengan dengan konstitusi dan kapan asas kekeluargaan tidak bisa
ditendensikan sama sekali dengan sebuah konstitusi.
Sunting
Referensi
Budiarjo,
Miriam dkk. 2003. Dasar- Dasar Ilmu
Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Asshiddique,
Jimly. 2004. Perekonomian
Nasional dan Kesejahteraan Sosial Menurut UUD 1945 serta Mahkamah Konstitusi. Makalah.
0 komentar:
Posting Komentar