Matahari pagi mengawali langkahku hari ini, ia seakan senang dapat berjumpa lagi denganku. Seperti hari lainnya aku harus cepat- cepat bergegas, sebelum sang matahari tak dapat lagi mengendalikan sinarnya. Turun ke jalan, itulah pekerjaanku selama ini. Sejak kecil aku diajarkan oleh orang tuaku untuk mencari uang sendiri dengan cara mengamen di jalanan. Kadang aku irih melihat teman- temanku dapat mengenakan pakaian bercorakkan bendera Negara Indonesia, berbaju putih dan celana merah. Itulah pakaian yang sering ia pakai untuk menimba ilmu di tempat yang selama ini tak berani ku langkahkan dengan kaki kotorku ini, itulah adalah sekolah mereka.
Memperhatikan
seluruh aktivitas di sekolah itu sering ku lakukan, aku bayangkan diriku berada
di salah satu anak yang duduk disederentetan bangku- bangku kecil sambil
membaca buku dan memperhatikan bapak guru menjelaskan di papan tulis. Tapi itu
hanyalah sebuah impian yang mungkin tak
ditakdirkan untuk aku alami. Kadang aku berfikir, seandainya aku dilahirkan
dari keluarga yang berkantong tebal pasti aku bisa sekolah, seandainya aku
dilahirkan dari keluarga pejabat pemerintahan pasti aku sudah duduk
disederentetan bangku- bangku itu. Meskipun aku lahir dari keluarga pengamen,
aku tetap bangga dengan orang tuaku, yang setiap hari mengajariku untuk tidak
mengambil uang yang bukan hakku, lebih baik kami mengamen ataupun menjadi
penjual koran dibandingkan harus mencopet uang yang bukan milik kami.
Sesekali
aku berniat untuk menulis surat dan ingin ku kirimkan ke pemimpin Negara ini
yang isinya kurang lebih seperti ini “ Maaf Pak, boleh tidak kami dibangunkan
sekolah kecil bagi para anak- anak pengamen di kampung kami, kami janji kami
akan belajar dengan rajin dan kami akan merawat sekolah tersebut, izinkan kami
menikmati yang namanya bersekolah pak ! Terima Kasih” Itulah sepenggal isi
surat yang awalnya ingin ku kirimkan ke pemimpin negera ini. Namun setelah saya
sampai di kantor yang bercat orange tersebut, saya pun memberikan surat itu ke
salah satu petugas di kantor itu “ Pak !
tolong dikirimkan surat ini ke rumah pak presiden, tolong katakan ini surat
dari Ali”. Petugas itu pun tertawa dengan keras “ Silahkan pulang nak, jangan banyak bermimpi, pak Presiden orangnya
sibuk, dia tidak mempunyai waktu membuka ataupun membaca surat mu”
.
Mungkin
, itu adalah surat pertama ataupun surat terakhir yang aku tulis untuk pak
Presiden, aku tak ingin ditertawakan untuk yang kedua kalinya. Semoga di suatu
saat, pak Presiden bisa berkunjung ke kampung kami dan hatinya terketuk untuk
membangunkan kami sebuah sekolah keci tempat kami menimba ilmu. Mungkin itu
adalah hal yang mustahil, namun aku akan terus berharap dan terus menunggu
meskipun 10 ataupun 20 tahun yang akan datang,
kalau memang saya tidak bisa menikmati yang namanya bersekolah, besar
harapanku anak- anakku nantinya akan mengahapus jejakku sebagai pengamen dan
mereka bisa bersekolah.
1 komentar:
waw, postingan yg bagus gan :)
visit back yah
Posting Komentar