Minggu, 24 Juni 2012

Refleksi Diri Anak Jalanan : Sekolah Bukanlah Tempat Kami




Matahari pagi mengawali langkahku hari ini, ia seakan senang dapat berjumpa lagi denganku. Seperti hari lainnya aku harus cepat- cepat bergegas, sebelum sang matahari tak dapat lagi mengendalikan sinarnya. Turun ke jalan, itulah pekerjaanku selama ini. Sejak kecil aku diajarkan oleh orang tuaku untuk mencari uang sendiri dengan cara mengamen di jalanan. Kadang aku irih melihat teman- temanku dapat mengenakan pakaian bercorakkan bendera Negara Indonesia, berbaju putih dan celana merah. Itulah pakaian yang sering ia pakai untuk menimba ilmu di tempat yang selama ini tak berani ku langkahkan dengan kaki kotorku ini, itulah adalah sekolah mereka.

Memperhatikan seluruh aktivitas di sekolah itu sering ku lakukan, aku bayangkan diriku berada di salah satu anak yang duduk disederentetan bangku- bangku kecil sambil membaca buku dan memperhatikan bapak guru menjelaskan di papan tulis. Tapi itu hanyalah  sebuah impian yang mungkin tak ditakdirkan untuk aku alami. Kadang aku berfikir, seandainya aku dilahirkan dari keluarga yang berkantong tebal pasti aku bisa sekolah, seandainya aku dilahirkan dari keluarga pejabat pemerintahan pasti aku sudah duduk disederentetan bangku- bangku itu. Meskipun aku lahir dari keluarga pengamen, aku tetap bangga dengan orang tuaku, yang setiap hari mengajariku untuk tidak mengambil uang yang bukan hakku, lebih baik kami mengamen ataupun menjadi penjual koran dibandingkan harus mencopet uang yang bukan milik kami.

Sesekali aku berniat untuk menulis surat dan ingin ku kirimkan ke pemimpin Negara ini yang isinya kurang lebih seperti ini “  Maaf Pak, boleh tidak kami dibangunkan sekolah kecil bagi para anak- anak pengamen di kampung kami, kami janji kami akan belajar dengan rajin dan kami akan merawat sekolah tersebut, izinkan kami menikmati yang namanya bersekolah pak ! Terima Kasih” Itulah sepenggal isi surat yang awalnya ingin ku kirimkan ke pemimpin negera ini. Namun setelah saya sampai di kantor yang bercat orange tersebut, saya pun memberikan surat itu ke salah satu petugas di kantor itu “ Pak ! tolong dikirimkan surat ini ke rumah pak presiden, tolong katakan ini surat dari Ali”. Petugas itu pun tertawa dengan keras “ Silahkan pulang nak, jangan banyak bermimpi, pak Presiden orangnya sibuk, dia tidak mempunyai waktu membuka ataupun membaca surat mu”
.
Mungkin , itu adalah surat pertama ataupun surat terakhir yang aku tulis untuk pak Presiden, aku tak ingin ditertawakan untuk yang kedua kalinya. Semoga di suatu saat, pak Presiden bisa berkunjung ke kampung kami dan hatinya terketuk untuk membangunkan kami sebuah sekolah keci tempat kami menimba ilmu. Mungkin itu adalah hal yang mustahil, namun aku akan terus berharap dan terus menunggu meskipun 10 ataupun 20 tahun yang akan datang,  kalau memang saya tidak bisa menikmati yang namanya bersekolah, besar harapanku anak- anakku nantinya akan mengahapus jejakku sebagai pengamen dan mereka bisa bersekolah.


1 komentar:

Outbound di Malang mengatakan...

waw, postingan yg bagus gan :)
visit back yah

Posting Komentar

Pages

Herzlich Wilkommen in mein Blog

Herzlich Wilkommen in mein Blog
Yusri

Meine Freunden

Ich bin Schrifteller

Ketika seorang penulis hanya menunggu, maka sebenarnya ia belum menjadi dirinya sendiri”. [Stephen King]

Cari Blog Ini